Minggu, 03 April 2011

KARL MARK : antara keluarga dan komunisme




Rasanya tidak ada anak lelaki yang tidak mengagumi ayahnya. Begitu pula si kecil Karl yang tinggal di Jerman. Setiap hari ia melihat ayahnya rajin berangkat kerja tanpa sekalipun membolos. Malam hari, berbeda dengan para ayah lain yang lebih suka pergi ke bar untuk minum bir bersama kawan-kawannya, ayahnya lebih suka membaca di depan perapian. Dan ia selalu membiarkan Karl membebani pangkuannya untuk diminta dikisahkan pelbagai dongeng kepahlawanan Yehuda. Dan Saat beranjak remaja, Karl suka mengambil kursi untuk duduk di samping ayahnya, mendiskusikan buku yang tengah dibaca Karl, ayahnya selalu punya jawaban yang bagus dan tepat, bahkan cendrung saleh.
ya, ayahnya juga rajin membaca Torah, sebagaimana diwajibkan oleh tuntunankepercayaan mereka sekeluarga, Yudaisme. Dan setiap hari Sabbath ( Sabtu, hari terakhir dalam satu minggu ) ayahnya tidak bekerja, dan mereka sama-sama pergi ke Sinagog dengan mengenakan pakaian istimewa dan makan enak. karl belajar membaca ‘ pentateuch’ dari sang ayah.
Karl remaja tumbuh sebagai anak yang saleh, mengikuti teladan ayahnya. namun Jerman tengah dilanda krisis ekonomi, sehingga ayahnya memutuskan keluarga meraka untuk pindah ke kota yang lebih besar. Maklum, sebagai pengacara, ia tak bakal mendapat banyak klien jika tetap tinggal di kota kecil.Dengan cepat semua disiapkan dan dalam tempo satu bulan, keluarga mereka sudah pindah. Karl amat antusias berada pada lingkungan baru. Namun belum satu minggu mereka pindah, ayahnya mengumumkan sesuatu yang sangat penting
“ Dikota ini tidak ada Sinagog. Bahkan, sepertinya tidak ada pengikut Yudaisme disini. Kalau ayah ingin bertahan sebagai pengacara, ayah harus menyesuaikan diri dengan para klien ayah. Mereka semua penganut Lutheren, apalagi para tokoh masyarakatnya. Maka ayah memutuskan untuk mulai saat ini juga menganut Lutheren; begitu pula ibu dan dirimu”, ungkap ayah Karl dengan nada yang ringan.
Karl terdiam. Mulutnya terkunci rapat. Namun hatinya dipenuhi gelombang kebingungan. Gelombang yang akhirnya berubah menjadi kemarahan dan kepahitan. Hatinya terluka besar. Luka yang makin lama makin memborok.
Tak tahan lagi, akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Jerman dan lari ke Inggris. Sambil kuliah ia banyak menulis artikel yang didasari oleh pertempuran ide-ide di kepalanya. Rupanya, pemikirannya disambut oleh beberapa kawannya. Bahkan salah seorang kawan kuliahnya yang kaya, Friedrich, banyak menopang biaya hidup Karl.Anak-anak kuliahan ini dengan penuh semangat merangkul pemikiran Karl: “ Bahwa agama itu seperti ganja yang membuat masyarakat kecanduan”. Karl juga menjelaskan segala kejadian didunia ini, juga sejarah tiap bangsa dari sudut pandang ekonomi “ semuanya karena alasan ekonomi” tegasnya.
Puluhan tahun kemudian, jutaan orang hidup penuh derita dan sengsara di dalam sistem pemerintahan yang dibentuk berdasarkan ide-ide Karl: komunisme. Sistem yang secara fktual ditinggalkan oleh semua Negara, walau ada beberapa Negara seperti Korea Utara dan Kuba secara formal masih menyebut diri sebagai penganutnya.
Ini bukti bahwa ideologi sebesar komunis tenyata berakar dari sebuah lingkungan kecil yaitu keluarga. Bukan pekerjaan seseorang yang menentukan apakah pekerjaanya religius atau sekuler, melainkan mengapa ia mengerjakannya. Bukan soal pekerjaan anda menjadi pengacara, wartawan, dokter, motivator atau pengkhotbah. Anak-anak tidak melihat status itu. Mereka bisa merasakan ‘ mengapa’ anda memilih berangkat pagi-pagi dan pulang larut malam. Mereka tahu ‘ mengapa’ anda lebih memilih untuk tetep bekerja pada akhir pecan daripada menghabiskan waktu bersama mereka.
Ya, anak-anak sangat peka menilai orangtuanya. Kalau kita hanya setengah-setengah yakin atas kepercayaan kita, mereka bisa merasakannya; bahkan dengan segera ‘ menangkap’ kenyataan itu, anda bisa membuktikannya sendiri.
Mengapa mereka bisa tahu? Sederhana saja. Karena karakter akan ‘ berbicara ‘ sendiri. Kita tidak bisa menceramahinya soal kejujuran, kalau kertas yang dipakainya untuk menyoret-nyoret kerayonnya, kita comot dari kantor. Kita tidak bisa berbusa-busa bicara tentang keadilan kalau makanan yang dimakan oleh ‘si mbak’ berbeda dari yang ia makan. Percuma saja kita bicara soal komitmen kepadanya, kalau setiap kali jam makan siang kita hany menelpon selama lima menit kepadanya dengan pertanyaan yang setiap hari tak pernah berganti: “ sudah makan, sayang ?” dan perintah yang sama: “nanti jangan lupa belajar ya!”
Dan untuk apa kita berbicara tentang saling menyayangi, berbagi kasih, kalau kita hanya memberinya sekolah termahal, fasilitas belajar terbaik, kado-kado mahal setiap kali ia berprestasi, tapi bahkan duduk berdampingan, merangkul pundaknya, mengelus kepalanya, mencium pipinya bisaa dihitung sebelah jari? Ya mereka bisa tahu, mereka bisa menilai seperti apa kasih kita kepadanya.
Sumber : Dono Baswardono, mom & kiddie